Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Ideologi Takhta

Tags: kekuasaan

Oleh : Dr. HAEDAR NASHIR

SIAPA meragukan keperkasaan Nabi Sulaiman? Dia Nabi sekaligus Raja digdaya, tetapi alim dan bijaksana. Tuhan menganugerahkan kepadanya kemampuan yang serba melampaui. Berbicara dengan binatang, menundukkan angin, menguasai bangsa jin, dan menaklukkan Ratu Bilqis. Banyak kisah yang khariq al-‘adat ( metarasional ) yang menyertai perjalanan hidup Nabi Sulaiman sebagai ibrah bagi umat manusia. Dia diberi kekuasaan dan istana yang megah, tetapi perhambaannya kepada Allah dan kebaikannya bagi umat manusia sangatlah utama.

Kekuasaan duniawi yang luar biasa tak pernah menjadikan Nabi Sulaiman sewenang-wenang, apalagi jauh dari Tuhan. Dia adalah hamba Allah yang utama sehingga Tuhan mengabadikannya lewat Al-Quran: “Dan Kami karuniakan kepada Daud seorang putra bernama Sulaiman, Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat: ( QS Shad: 30 ). Suatu kali Sulaiman berkata: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada pengertian-pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dengan segala lakumu, maka Dia akan meluruskan jalanmu. Janganlah menahan kebaikan dari orang-orang yang berhak menerimanya, sedang engkau mampu melakukannya.”

Di ujung kehidupannya yang penuh kejayaan dan kebaikan, Nabi Sulaiman dalam usia 52 tahun sampai pada puncak kepasrahan untuk kembali ( irja’ ) kepada Tuhan. Dikisahkan al-Nuwairi ( Hilmi Ali Sya’ban, 2004: 136 ), Nabiyullah yang juga Raja ternama ini suatu hari menutup pintu istananya. Dia ingin bermunajat sepenuh hari kepada Allah seraya memerintahkan para pengawal istana agar tidak ada satu orang pun yang diperbolehkan masuk. Dia ingin membersihkan diri dari segala keburukan dunia.

Tiba-tiba Nabi Sulaiman melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berpakaian putih-putih datang menemuinya sambil menyapa: “Assalamualaikum, wahai Sulaiman!” Sulaiman menjawab: “Waalaikumsalam. Bagaimana kamu bisa masuk ke istana ini, padahal tidak satu orang pun diperbolehkan. Apakah penjaga istana tidak mencegahmu dan kenapa kamu tidak meminta izin kepadaku terlebih dulu?” Pemuda tak diundang itu menjawab tegas: “Tidak seorang pun dapat mencegahku memasuki istana ini, tidak pula pengawal istana. Aku tidak menginginkan kerajaanmu, tidak perlu pula meminta izin darimu.” Lalu, siapa yang mengizinkanmu,” tukas Sulaiman. “Tuhanmu yang mengizinkanku,” ujar si pemuda.

Nabi Sulaiman baru sadar bahwa yang datang itu sesungguhnya Malaikat Izrail. Pemuda yang tidak lain mlaikat pencabut nyawa itu berujar kepada Nabi Sulaiman: “Kamu boleh saja berharap bahwa pada hari ini kamu dapat membersihkan diri, hingga tidak ingin mendengar sesuatu hal buruk yang membuatmu terganggu. Tak sesuatu pun yang diciptakan di muka bumi ini kecuali atas kehendak Tuhanmu. Dan itu tak dapat diganggu gugat.” Sulaiman pasrah, lalu tibalah ajal sang Nabi yang juga Raja perkasa ini.

Memaknai kekuasaan

Nabi Sulaiman mengajarkan relativitas tentang kekuasaan sekaligus menggunakannya dengan kearifan, tanggung jawab, dan kemuliaan. Kendati menjadi nabi sekaligus raja, Sulaiman tetap Raja dan taat kepada Tuhan Yang Maha Pemberi Takhta, lalu berbuat ihsan bagi kehidupan. Bahwa kekuasaan apa pun di dunia ini hanya amanah alias titipan Tuhan. Manusia tidak berhak mengambilnya secara absolut, apalagi menjalankannya dengan sewenang-wenang. Siapa pun yang sedang memegang tampuk kekuasaan, belajarlah untuk sering bertanya pada diri sendiri. Dari mana kekuasaan atau takhta yang digenggam itu diperoleh dan bagaimana serta untuk apa dipergunakan? Sebab, tak ada durian runtuh dalam kekuasaan di dunia ini. Tuhan tidak memberi hak istimewa kepada seseorang untuk berkuasa atas manusia lain, lebih-lebih secara mutlak.

Dalam alam pikiran demokrasi, tentu kekuasaan itu diperoleh dari mandat rakyat. Di luar sistem demokrasi, kita tidak tahu dari mana asalnya takhta itu berada di tangan. Bahkan, manakala kekuasaan itu diperoleh melalui institusi demokrasi, berhakkah mereka yang memperoleh mandat rakyat mempergunakannya sesuka hati atau sebaliknya tidak menjalankannya dengan sebaik-baiknya? Ini masalah substansial dalam hal takhta atau kekuasaan. Dunia ini dengan segala urusannya diberikan Tuhan untuk semua manusia, tidak untuk segelintir orang. Tidak ada yang berhak memonopoli atas kekuasaan duniawi di muka bumi ini.

Becerminlah pada kearifan dan kezuhudan Umar bin Khattab. Ketika dirinya didesak untuk siap dibaiat karena baru saja Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat, Umar dengan rendah hati menjawab: “Saudara-saudara, saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah, saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.” Para sahabat dan kaum Muslimin kagum dan haru dengan sikap Umar itu, lebih-lebih setelah Umar melanjutkan ujarannya. “Ya Allah, aku ini sungguh keras dan kasar, maka lunakkanlah hatiku. Aku ini kikir, maka jadikanlah aku dermawan yang bermurah hati. Allah telah menguji kalian dengan aku, dan menguji aku dengan kalian ….” ( Haikal, 2001: 94 ).

Kita tidak tahu persis, mengapa orang-orang kini banyak berebut takhta atau kekuasaan dengan penuh ketegangan, bahkan saling ancam dan sikap serbaabsolut. Padahal, kekuasaan atau jabatan publik itu sesungguhnya amanah, ujian, dan kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Apabila tak pandai-pandai menunaikannya, ia akan berubah menjadi beban, ujian, cobaan, musibah, fitnah, dan petaka.

Cyrus pernah mengingatkan Socrates dan Aristoteles yang terlalu memberi kemudahan sosok raja untuk berkuasa. Berkuasa itu mudah jika dilakukan dengan pengetahuan dan pertanggungjawaban. Bahkan, Xenophon dan Isocrates mengingatkan para elite Yunani Kuno tentang bahayanya kekuasaan bahwa demokrasi, ologarki, tirani, dan kerajaan atau monarki semuanya hancur jika tidak diperintah dengan tepat. ( Rowe & Schofield, 2001: 175 ).

Kekuasaan itu memang dahsyat dan dapat meracuni siapa pun karena di dalamnya terkandung pengaruh, otoritas, dan ideologi yang melanggengkannya. Bagi yang berkuasa akan terjangkiti racun mabuk kekuasaan, sebagaimana Raja Louis XIV yang dengan keangkuhannya berujar bahwa negara adalah aku. Fir’aun bahkan berani menyamakan dirinya dengan Tuhan. “Ana rabbakum al-‘ala” ( Akulah tuhanmu yang mahatinggi ).

Hampir semua raja, penguasa, dan siapa pun yang memperoleh mandat besar dalam kekuasaan dalam sepanjang sejarah, akhirnya bertekuk lutut pada takhta, lalu bertindak sewenang-wenang. Karena itu, Lord Acton menawarkan pembatasan kekuasaan karena, menurut dia, kekuasaan yang mutlak akan melahirkan kesewenang-wenangan, penyelewengan, dan penyimpangan yang sama mutlaknya. Oleh karenanya, jangan berikan seseorang atau institusi apa pun kekuasaan yang absolut. Berikanlah yang relatif dan dapat dikontrol.

Kekuasaan juga meninabobokan orang banyak ( rakyat ), lebih-lebih bagi masyarakat yang terlalu lama hidup dalam budaya dan hegemoni kekuasaan yang absolut. Rakyat yang sehari-hari hidup dalam budaya sabda pandhita ratu ( hidup dalam hegemoni titah raja ) atau dalam pangkuan kekuasaan absolut apa pun, biasanya menjelma menjadi abdi dalem ( hamba ) yang lemah secara politik dan budaya.

Fir’aun, Louis XIV, Hitler, Mussolini, dan para tiran lainnya di muka bumi ini, biasanya menciptakan ideologi hegemoni untuk melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan ketika sudah menjelma dalam banyak kepentingan yang lama, akan cenderung dilanggengkan, baik oleh yang berkuasa maupun oleh kelompok rakyat yang dikuasai-betapa pun sengsaranya hidup rakyat yang menjadi objek kekuasaan.

Kenapa rakyat yang tidak memiliki kekuasaan ( powerless ) tampak mudah menerima atau tak berdaya dengan mereka yang berkuasa ( powerfull ), lalu menjadi hamba yang serbataklid-buta? Antonio Gramsci mengatakan, karena kekuasaan dan sang penguasa mampu menciptakan ideologi hegemoni kepada orang banyak yang dikuasai sehingga rakyat atau orang banyak itu nikmat hidup dalam cengkeraman kekuasaan yang berkuasa. Lalu, lahirlah para true believer ( pengikut buta ) dalam relasi kekuasaan yang telanjur sudah digenggam lama, apakah hal itu baik ataupun buruk.

Akhirnya, penguasa dan rakyat yang dikuasai sama-sama menikmati status quo kekuasaan sekaligus takut kehilangan. Itulah ideologi takhta, yang sering dilenggengkan dan didaur ulang dalam sejarah sangkar besi kekuasaan.

ØØØ

Dari : Refleksi Republika, Ahad, 19 Desember 2010

Cianjur, 19 Desember 2010 | 17:23


Filed under: Agama & Kehidupan Tagged: Daud, demokrasi, ideologi, kekuasaan, kerajaan, nabi, raja, Sulaeman, takhta


This post first appeared on Islam 4 All | Doing The Right Thing And Doing It R, please read the originial post: here

Share the post

Ideologi Takhta

×

Subscribe to Islam 4 All | Doing The Right Thing And Doing It R

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×