Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Yang Tak Terjamah

Tags: zira
  








Menikah? Ah, mengapa hal itu menjadi suatu keharusan? Apakah karena Tuhan telah memfirmankan tentang hal itu didalam kitab suci? Ataukah semata karena  ketakutan dari diri kita saja akan kesendirian dalam hidup? Atau karena muak mendengar mulut-mulut yang tak pernah berhenti bertanya, yang juga gemar menggunjingkan kesendirian itu? Atau karena kita butuh seorang pewaris? Yang hanya bisa kita miliki jika memiliki pasangan hidup, menikah.
Namun bagi Zira, hal itu bukanlah suatu keharusan yang bisa dianggap adil bagi dirinya. Karena jika memang semua itu adalah suatu keharusan, dengan alasan karena tuhan telah berfirman akan hal itu. Atau karena alasan apapun. Mengapa sampai hari ini, sebuah Predikat untuk dirinya tak juga mau hilang, “Perawan Tua”. Predikat yang lebih mirip penghinaan yang lebih terdengar seperti “Goa Tua”. Yang sekian lama tak pernah terjamah oleh laki-laki. Atau seperti barang dagangan yang terpajang sekian lama dan tidak pernah laku terjual, meski telah terpasang juga harga obral. Hidup memang sering kali tidak adil kepada siapapun, tidak berpihak pada sebagian orang.
Tidak ada satu manusia pun yang menginginkan kesendirian dalam sepi, mendera kehidupannya. Tak akan ada yang mengharapkan hidup sendiri. Bahkan Iblis pun seumur hidup mereka, selalu mencari kawan untuk dijadikan teman sependeritaan. Saat mereka berada dalam siksa api neraka kelak. Apalagi manusia?! Tapi itulah yang terjadi pada diri Zira, dalam usia yang mendekati kepala empat, tepatnya 39 thn. Dia masih hidup seorang diri, tanpa pendamping, tanpa suami dan tidak pula seorang kekasih hadir dalam kehidupannya.
Tahapan menuju predikat itu sudah dilewati Zira. Tahapan ketika teman-temannya satu persatu mulai meninggalkan dirinya karena mereka menikah dengan orang yang mereka cintai. Pertanyaan pertama muncul,”Eh, kapan giliran kamu. Ditunggu undangannya, lho.” Lalu masuk ke tahap dimana mereka hamil dan memiliki anak,” Cepetan nikah makanya, biar tahu rasanya hamil dan punya anak”
Lalu meningkat pada level kekhawatiran yang dirasa semua orang, “Udah sama sepupuku aja. Nanti aku kenalin deh. Mau yah?.” Semua seolah beruntun terjadi dan berulang, masa-masa pun berganti bagi semua orang. Mereka yang tumbuh dewasa kemudian, ikut melangkahi Zira dalam pernikahan. Sedang bentuk kekhawatiran, kini jatuh pada perjodohan. Yang kadang tak lagi memikirkan apa yang di ingin dan dirasakan oleh seorang Zira. Namun semua tetaplah sama, tetap menjadi kesendirian bagi Zira.
Dalam kesendiriannya sehari-hari. Zira duduk disisi ranjang dimana Ibu tengah lelap tertidur. Ibu yang wajahnya selalu terlihat pucat, dalam tubuh renta dan selalu saja merasakan sakit yang tak berkesudahan. Hanya mengurusi Ibu saja yang bisa dilakukan Zira, untuk mengabdikan kehidupannya yang sendiri. Wanita yang telah membesarkan dirinya dan juga kakak-kakaknya. Kini, masa jayanya telah usai. Setelah bertahun-tahun berjuang sendiri menghidupi ke 5 anaknya. Semenjak kepergian suami tercinta untuk selama-lamanya. Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa lelah dan mengeluh, melakukan apa saja yang bisa dia lakukan. Demi masa depan anak-anaknya kelak.
Dirumah ini hanya tinggal Zira dan Ibu. Sementara Kakak-kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri. Mereka menitipkan Ibu kepadanya, ketika Ibu mulai sering didera sakit terus menerus. Tidak ada yang bisa mengurusnya, selain Zira.
“Maaf aku tidak bisa. Kalian tahu sendiri bagaimana kehidupan keluarga kami. Aku dan istriku sama-sama bekerja. Lalu siapa yang akan mengurusi Ibu?” ucap Kakak tertua Zira, Arman. Saat dulu mereka berkumpul membicarakan perihal Ibu yang mulai sakit-sakitan tanpa ada yang mengurus.
“Aku juga sama, Mas,” ucap Mbak Mira, kakak ke dua Zira.”Setiap hari aku dan suamiku selalu pulang malam. Anak-anak saja, di urus pembantu. Bagaimana aku bisa mengurusi Ibu?!”
Perdebatan yang terjadi tanpa ada jalan keluar. Meskipun sebelumnya mereka pernah menyewa seorang perawat yang khusus mengurusi Ibu. Namun setelah kejadian dimana Ibu jatuh dari tempat tidur,sementara sang perawat tengah asik ngobrol dengan teman atau pacarnya di telfon. Mereka sudah tidak lagi bisa mempercayai untuk menyerahkan Ibu kepada orang lain.
“Kamu saja, Zir. Berhenti dari pekerjaan kamu. Toh kamu juga belum menikah. Biar nanti kami semua yang akan rutin mengirimi uang untuk keperluan kamu dan Ibu sehari-hari” usul Mas Budi, kakak Zira nomer 3. Usul itupun di dukung penuh oleh Mbak Shinta, kakak ke empatnya.
Akhirnya semenjak itu, Ziralah yang merawat dan mengurus semua keperluan Ibu. Bukan karena keterpaksaan juga usul itu diterima Zira. Namun juga karena kasih sayang yang dia miliki untuk Ibunda tercinta. Terlebih lagi saat itu, Zira memang belum juga mendapat Jodoh. Tak ada tanggungan dan beban bagi dirinya, apabila dia mendedikasikan hidupnya untuk Ibunda tercinta.
Seperti saat ini, dengan setia Zira menunggui Ibunya disisi ranjang. Betapa sebuah penghormatan besar telah dipersembahkannya untuk Ibu. Perempuan yang begitu dicintainya. Hal ini pula yang senantiasa bisa membuat Zira sedikitnya dapat melupakan tentang pernikahan ataupun predikat dirinya. Hari-hari yang selalu sibuk, memberikan perhatian khusus untuk Ibu.
“Maafkan Ibu ya, Nak. Kalau Ibu sudah membuat kamu jadi susah.” ucap Ibu setiap saat. Mengetahui bagaimana kasih sayang dan perhatian lebih selalu dia dapatkan dari Zira.
“Tidak apa-apa,kok, Bu. Sudah kewajiban Zira untuk berbakti kepada Ibu,” jawab Zira sambil tersenyum. Dan Ibu selalu meneteskan airmata melihat bakti dari anaknya ini. Terlebih bila Ibu teringat betapa sampai saat ini. Zira masih hidup sendiri, melajang, dengan predikat Perawan Tua melekat pada dirinya.
“Bagaimana kamu bisa bertemu dengan jodoh kamu, Nak? Jika setiap saat kamu berada disini bersama Ibu,” ucap Ibu lagi kemudian.
Zira tersenyum. Entahlah, meskipun kini hanya ada dirinya dan juga Ibu. Zira masih tetap tidak dapat menghindari diri dari pertanyaan-pertanyaan seputar jodoh dan pernikahan.
“Jika Tuhan memang berkehendak. Apapun bisa terjadi khan, Bu? Seperti yang sering Ibu katakan pada Zira dulu,” jawab Zira. Ibu tersenyum mendengar jawaban Zira. Tak pernah terfikirkan sebelumnya, jika kata-kata yang dulu dia ucapkan akan dikembalikan lagi kepadanya.
“Ibu akan selalu berdoa untukmu, Nak”
Lalu Zira menjatuhkan kepalanya disisi Ibu. Memejamkan mata menikmati teduh hati yang dia rasakan setiap saat. Ketika dengan penuh kasih sayang, Ibu selalu berdoa untuknya. “Aku selalu menunggu doa Ibu itu dikabulkan Tuhan, Bu” ucap Zira lirih, tenggelam dalam rasanya sendiri. Ibupun membelai lembut penuh kasih, rambut kepala Zira.
……..
“Mas, Ibu sepertinya harus dibawa ke Dokter. Batuknya tidak juga mau sembuh. Bahkan menjadi lebih sering” ucap Zira khawatir, saat berbincang dengan Mas Arman ditelfon.
“Aduuuh, jangan sekarang dong. Aku lagi ada urusan keluar kota, nih. Coba kamu hubungi Kakakmu yang lain,” jawab Mas Arman sebelum akhirnya di menutup telfon.
Zira menghela nafas panjang mendapati sikap kakaknya yang acuh atas sakit yang sedang diderita Ibu. Dan saat menghubungi kakaknya yang lain, jawaban dengan alasan berbeda juga didapatkan Zira.
“Aku lagi repot, Zir. Anak-anak lagi sakit semua. Aku sudah ijin 3 hari dari kantor kemaren” ucap Mbak Mira memberi alasan. Tak jauh berbeda dengan Mas Budi,“Nanti ajalah ke dokternya. Kasih obat yang biasa Ibu minum aja dulu. Uangku sudah habis untuk renovasi rumah kemaren, Zir.” Lalu Mbak Shinta, “Aduuuh, Zir. Kamu minta tolong sama kakakmu yang lain dulu, deh. Aku lagi sibuk urusan kantor. Setiap hari pulang malam. Kantorku sedang kena masalah besar, nih”
Zira berdiri lemas didepan meja telfon. Rasa kecewa menghinggapi hatinya, saat mengetahui sikap kakak-kakaknya yang seolah tak perduli. Namun, bagaimana pun juga inilah yang terjadi sekarang. Kehidupan mereka telah menuntut perhatian mereka lebih, dibandingkan perhatian mereka kepada Ibu yang pernah melahirkan dan membesarkan mereka. Wajar memang, bisa dimaklumi adanya.
Namun keadaan Ibulah yang membuat diri Zira begitu khawatir. Tidak seperti biasanya Ibu terus menerus batuk tanpa berhenti. Zira merasa perlu untuk membawa Ibu ke dokter. Tapi oleh sebab biaya kehidupan dirinya dan juga Ibu, selama ini ditanggung oleh Kakak-kakaknya. Zira bingung bagaimana cara membawa Ibu ke dokter. Apalagi persediaan uang yang ada sudah mulai menipis.
Zira bergegas menuju kamarnya. Berdiri didepan pintu. Memperhatikan seisi kamar. Mencari-cari apa yang bisa di jual. Uangnya akan digunakan untuk membayar ongkos berobat Ibu.
“Uhuk..Uhuk..Uhuk…” terdengar suara ibu yang terbatuk-batuk. Seolah memacu diri Zira untuk segera bertindak cepat memikirkan jalan keluar. Hampir saja Zira putus asa, karena tidak juga menemukan apa yang bisa di jual. Semua tabungannya telah habis untuk menutupi keperluan sehari-hari. Saat kakak-kakaknya lupa memberikan uang atau bahkan lupa sama sekali. Perhiasan dan juga handphone miliknya telah lama dijual. Tidak ada apa-apa lagi. Zira semakin panik, saat suara batuk Ibu semakin terdengar tak terputus.
..
“Tolong Ibu saya, Suster! Tolong!” seru Zira dísela tangis, kepada perawat yang berlari menghampiri mobil Ambulance yang baru saja sampai. Zira melompat turun dari Mobil tersebut, mengawal Ibunya yang tengah tak sadarkan diri. Sedangkan darah terlihat dari tepi bibirnya.
“Mbak tunggu disini sebentar, Biar kami periksa Ibunya dulu,” ucap seorang Perawat yang tadi. Dan membawa Ibu masuk ruangan Gawat darurat. Dan tak lama kemudian seorang Dokter menyusul masuk bersama dua perawat lain.
“Zira?!” tiba-tiba Dokter yang hendak masuk keruangan itu berhenti didepan pintu menatap diri Zira. Sejenak Zira terkejut mendapat sapaan itu. Ditatapnya dokter yang menyapa dirinya. Sebuah bayangan melintas seketika dalam pikiran Zira tentang masa-masa yang telah lama berlalu, masa indah yang penuh dengan cinta.
“Andi?..ini benar kamu Andi, khan?,” seru Zira kemudian setelah berhasil mengingat siapa sosok dokter yang ada dihadapannya. Dokter itupun mengangguk sambil tersenyum.
“Kamu tunggu disini sebentar yah” ucap dokter yang bernama Andi itu. Lalu masuk kedalam ruangan dimana Ibu berada.
….
Isak tangis terdengar begitu mengharukan saat melepas kepergian Ibu untuk selamanya. Di tanah pekuburan ini, semua orang berkumpul dengan duka yang mendalam mereka rasa. Tak terkecuali Zira serta keluarganya.
“Ikhlaskan saja, Zir. Semua sudah kehendak Tuhan. Mungkin ini lebih baik untuk Ibu kamu, dibandingkan harus terus menerus menderita karena sakitnya,” ucap Andi sambil merengkuh bahu Zira.
Lalu Zira menjatuhkan tangisnya di dada Andi. Berusaha untuk bisa merelakan kepergiaan Ibunda tercinta kembali kepangkuan Tuhan. Namun duka akan hampa yang dirasa, akan kehilangan sosok Ibu. Tetaplah tak mudah bagi Zirah untuk menyingkirkannya. Dan sedikit rasa kecewa terselip dihatinya, manakala mengingat sikap kakaknya kemarin. Tapi bila semua ada dalam kehendak Tuhan. Tak ada satu manusiapun mampu menghalanginya. Zira terus mencoba untuk tetap pada keikhlasan menerima semua. Mencoba memaafkan sikap kakak-kakaknya.
….
Sebuah doa dan restu dari seorang Ibu senantiasa didengar oleh Tuhan. Selalu saja. Manusia tidak akan pernah mampu untuk menerka dan mengetahui akan rencana yang dimiliki Sang Kuasa atas kehidupan mereka. Semilir angin berhembus pelan disekitar kuburan Ibu. Disisi pekuburan itu, terlihat Zira dan juga Dokter Andi. Airmata kerinduan akan sosok Ibu, jatuh menerpa wajah Zira. Hingga saat ini, meskipun dalam kerelaan dan keikhlasan atas kepergian Ibu. Rindu itu senantiasa selalu hadir dalam kehidupan Zira.
“Sudahlah, sayang. Mari kita doakan saja Ibu.” ucap Andi sambil merangkul tubuh istrinya, Zira. Dalam tangisan itu, Zira menjatuhkan kepala dan tubuhnya dalam pelukan Andi, suaminya.
“Bu, terima kasih atas doa Ibu selama ini,”ucap Zira dalam isak tangisnya. ” Aku datang bersama Mas Andi suamiku, Bu. Dan juga seorang cucu yang akan lahir dari rahimku.” Zira mengelus-elus perutnya sendiri yang terlihat membesar.
“Semua karena doa Ibu selama ini. Keajaiban hidup telah menghiasai kehidupan Zira sekarang. Mas Andi dan Anak dalam kandunganku, Bu. Aku sayang Ibu, aku rindu Ibu. Terima kasih, Bu” setelah mengucapkan itu, Zira pun jatuh dalam isak tangis yang panjang. Menyembunyikan wajah dalam pelukan didada Andi.
Angin pun yang sesaat sempat berhenti. Kembali berhembus dengan tenang dan berlalu. Membelai lembut tubuh Zira, yang tengah jatuh dalam isak tangis. Bahagialah yang tengah dia rasakan juga. Ketika kini kehidupannya melesat jauh, meninggalkan Predikat yang selama ini melekat pada dirinya. Menjadi perempuan seutuhnya. Yang tetap pada entah, semua rencana dan kuasa itu Tuhan miliki atas kehidupan hamba_NYA. “Selamat berbahagia Zira”



awankening personal blog


This post first appeared on Awankening Personal Blogs, please read the originial post: here

Share the post

Yang Tak Terjamah

×

Subscribe to Awankening Personal Blogs

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×