Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Gairah USD 3.000 per Kapita



Sebuah Tulisan dari Rhenald Kasali (lagi) dari Koran Sindo, menarik untuk disimak. Selamat membaca! :)


DENGAN produk domestik bruto (PDB) USD 700 miliar akhir tahun ini, ekonom senior Cyrillus Harinowo memberi tahu kita, income bangsa Indonesia akan menjadi USD 3.000 per kapita. Dengan pendapatan seperti itu,menurutnya, akan terjadi gelombang perubahan gaya hidup. Seperti apakah perubahan gaya hidup tersebut?


Gaya Hidup

Cut off USD3.000 adalah sebuah batas angka. Tentu saja tidak berarti semua orang akan berada di atas USD3.000. Sebagian orang sudah lebih dulu menembus angka itu dan sebagian lain masih banyak yang berada di bawahnya. Tetapi, begitu angka per kapita tertembus, biasanya perilaku konsumsi suatu bangsa akan tertarik menuju perilaku rata-rata per kapita itu.

Seperti apa gaya hidup dengan pendapatan per kapita sebesar itu? Kalau setiap orang dalam suatu keluarga memperoleh income USD3.000, dengan asumsi satu rumah tangga terdiri atas empat orang, maka family income-nya menjadi USD12.000. Family income seperti ini biasanya didapat dari double income (suami-istri), ditambah penghasilan lain-lain seperti usaha rumahan, bunga bank, uang hasil kontrakan rumah, atau penghasilan tambahan lain. Di daerah perkotaan, para pekerja tentu sulit mendapatkan income sebesar itu dari gaji saja.

Mereka umumnya harus bekerja keras dengan berbagai aktivitas tambahan, mulai dari memberi kuliah di perguruan tinggi atau tempat kursus, menarik ojek/taksi, memberi les tambahan pada murid-murid sekolah, terlibat dalam bisnis MLM, dan lain sebagainya. Dengan beragam aktivitas dan pendapatan sebesar itu, biasanya orang mulai berani mengambil kredit. Dalam perekonomian, konsumsi yang dibiayai dari kredit sama dengan membiayai konsumsi hari ini dengan penghasilan hari esok. Maka persepsi mengenai ekonomi hari esok menjadi penting. Bila masyarakat percaya kehidupan akan membaik di hari esok, maka dia akan lebih optimistis dan lebih berani berutang.

Daripada menghabiskan Rp3 juta untuk biaya transportasi setiap bulan, lebih baik membeli apartemen di pusat kota yang uang cicilannya Rp6 juta dan dapat digunakan hari ini. Demikian pula dengan kepemilikan mobil dan motor. Masyarakat yang optimistis akan mengonsumsikan uangnya lebih cepat, baik dengan tunai maupun kredit. Mereka juga akan mulai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai cerminan dari upaya kompensasi terhadap kerja keras yang dilakukan. Makan bersama keluarga atau kerabat di luar rumah seminggu sekali atau dua kali.

Mengajak anak menikmati hiburan yang lebih berkualitas, membeli bacaan-bacaan atau sekolah yang berkualitas, berlibur yang lebih jauh dengan transportasi yang lebih baik dan lebih sejuk, dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan habit atau budaya berkomunitas yang sangat kental dalam masyarakat Indonesia, maka tidak mengherankan bila bagian terbesar konsumen kita melahap gadget-gadget telekomunikasi yang dilengkapi kamera dan akses pada situs-situs jejaring sosial. Dewasa ini diperkirakan sudah ada 180 juta alat komunikasi yang tersebar di masyarakat dan 70% di antaranya adalah mobile digital phone.

Tidak mengherankan bila 50% usaha warnet dewasa ini gulung tikar karena konsumen Indonesia sudah bisa membuka Facebook atau mengakses jejaring sosial langsung dari ponsel masing-masing. Tidak mengherankan pula bila pengguna situs Facebook ketiga terbesar dari total 500 juta dunia, ada di Indonesia. Tidak mengherankan pula bila tingkat penetrasi tertinggi pada twitter di dunia berasal dari Indonesia.

Under Progress

Harus diakui, masih banyak golongan masyarakat yang berada jauh di bawah penghasilan sebesar itu. Lebih dari 80% komunitas yang ditangani Rumah Perubahan di kawasan Jati Murni, Bekasi, terdiri atas kalangan under progress. Inilah kalangan yang hidup ekonominya sulit untuk naik kelas. Mereka terdiri atas keluarga-keluarga dengan penghasilan tunggal berkisar antara Rp20.000–50.000 per hari. Profesi orang tua biasanya tukang ojek, buruh bangunan, tukang sate, atau usaha informal lain. Mereka tidak memasukkan anak-anaknya ke taman kanakkanak (TK), kecuali bila ada yang memberi kesempatan.

Rata-rata sekolah TK memungut uang sekolah Rp100.000–150.000. Itu sebabnya, Rumah Perubahan mengurus TK karena pemerintah tidak memberi bantuan pada level ini selain SD-SMA. Dengan income sebesar itu mereka tentu sulit untuk bergaya hidup. Namun menarik disimak, kaum remaja dari anak-anak kalangan ekonomi bawah ini ternyata terkena imbasnya juga. Bergabung dengan anak-anak urban yang berperilaku tertentu, mereka kemudian masuk dalam kelompok yang dikenal dengan istilah alay. Anda mungkin sudah sering mendengar ada beberapa versi mengenai alay.

Ada yang mengatakan kata alay berasal dari singkatan anak layangan yang berarti anak kampung yang norak, sok ikut-ikutan bergaya kota namun kurang modal dan penampilan sulit dipoles (karena modal tampang, suara, potongan rambut, kebiasaan, dan berkata-kata sudah menjadi kebiasaan yang dibentuk lingkungan). Ada juga yang mengatakan itu singkatan dari ah lebay (berlebihan), baik anak kampung yang mau ke kota-kotaan atau anak kota yang menjadi ke kampung-kampungan. Namun, terlepas dari bagaimana pun tampang dan manuver mereka, konsumsi yang bisa mereka lakukan hanya bisa didapat dari kerja keras.

Sekeras upaya seorang pemuda tukang cendol atau kuli bangunan yang tekun mencari income tambahan dengan bekerja di studio-studio musik, sampai akhirnya mereka menjadi penyanyi terkenal seperti yang dialami para personel Kangen Band. Perhatikanlah tampang, suara, dan manner mereka yang tetap sulit dipoles. Namun,seperti Tukul Arwana, Komeng, Sule, para personel Radja, dan ST-12, mereka semua jadi dan berhasil naik kelas karena kerja keras dan akses pada media digital, bukan bermodalkan tampang, ijazah, ataupun siapa orang tua mereka.

Di luar mereka kini ada ribuan anak muda yang bermimpi mengikuti jejak itu. Memang sebagian besar masih sekadar ikut-ikutan berkomunikasi yang tampak pada potongan-potongan rambut, gel, celana jeans hipster yang kedodoran, atau celana pensil yang ketat di paha seperti yang dipakai personel band Cangcuters, ponsel dengan casing berwarna-warni. Semua itu dilengkapi dengan gaya hidup yang lepas,agak pamer, pede abis, bahkan sering kali maaf, narsis dan berlebihan. Berfoto tampak dari atas, dengan gaya di tangan yang jari-jarinya diarahkan ke bibir yang dimonyong-monyongkan dan seterusnya. Tetapi, sebagian dari mereka beranggapan semua itu adalah modal.

Modal untuk mengakses informasi, untuk menarik minat produsen film dan televisi, untuk menjadi penyanyi atau penggaya lip-sync seperti Sinta dan Jojo yang menirukan lagu Keong Racun, atau untuk menjadi penulis terkenal (melalui microblogger). Di bawah mereka masih ada lagi anak-anak pinggiran yang memilih keluar rumah bergabung dengan kelompok anak-anak punk yang modalnya sungguh pas-pasan. Berbeda dengan anak para elite yang hidup senang, belajar di sekolah internasional, dengan kamera digital dan ponsel terbaru.

Progress Paradox

Kemajuan yang dicapai ini tentu tidak lepas dari sejuknya angin yang bertiup di Asia-Pasifik. Jumlah orang kaya di tiga negara ini: China, India, dan Indonesia seperti diberitakan SINDO memang sedang tumbuh pesat. Namun, meski demikian harap dicatat, perubahan di abad 21 ini juga dilengkapi dengan suasana paradox, atau lebih tepatnya progress paradox. Ini berarti, kendati kemakmuran manusia meningkat, tidak otomatis kepuasan dan kebahagiaan manusia meningkat. Tak punya mobil terasa miskin, punya mobil terasa beban.

Kesehatan membaik namun biaya pengobatan naik lebih cepat. Hak bersuara lebih didapat, bersuara bebas terasa nikmat, namun tak didengarkan penguasa terasa lebih menyakitkan. Punya ponsel senang tetapi manakala tetangga punya laptop dan iPad, manusia terasa tertinggal. Demikianlah progress. Kala seseorang sedang bergerak ke atas, selalu mengeluh karena meletihkan, terasa berat. Sebaliknya, saat jalan menurun, kita merasa nyaman. Padahal sedang menuju ke bawah.

Susah kok disyukuri. Capek (bergerak naik) kok dipermasalahkan. Itulah hidup dan kehidupan. Uang memang bukan segala-galanya tapi segalanya perlu uang.

Rhenald Kasali

Sindo
thank you for listening me... :)


This post first appeared on I Am Happy Being Me...., please read the originial post: here

Share the post

Gairah USD 3.000 per Kapita

×

Subscribe to I Am Happy Being Me....

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×