Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Satu Setengah Jam Berkunjung ke Keraton Yogyakarta


(Foto-foto: jedadulu.com)
Berjalan-jalan di Yogyakarta mungkin rasanya kurang lengkap jika tak mengunjungi Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Berdiri megah di jantung kota, Keraton Yogyakarta menjadi detak yang memberikan ruh pada kota budaya ini.

Keraton Yogyakarta merupakan bukti bahwa budaya dan tradisi yang masih dihidupkan akan mampu bersinergi dengan laju modernisasi. Jika ingin berkunjung ke Kompleks Keraton Yogyakarta, disarankan untuk datang tidak terlalu siang. Namun jangan juga kepagian seperti yang kami alami.

Kami berangkat dari penginapan di Sleman menuju keraton sejak pukul 06.00 WiB dengan menggunakan mobil pribadi. Di tengah jalan, kami menyempatkan diri sarapan bubur ayam selama kurang lebih setengah jam.

Jalanan Yogyakarta saat itu tak terlalu padat, mobil pun berjalan dalam kondisi normal. Banyak penunjuk jalan yang mudah ditemukan untuk mengarahkan kami menuju keraton.

Tak terasa sekitar pukul 08.15 WIB kami sudah tiba di Kompleks Keraton Yogyakarta. Gerbang keraton masih tertutup. Karena keraton ternyata baru buka pukul 09.00 WIB. Kami kepagian. Maklum baru sekali ke sini dan teledor lupa mencari informasi jam buka keraton.

Sesaat setelah memarkir mobil di samping luar keraton, sejumlah tukang becak langsung berebut menawarkan jasa. "Monggo Mas keliling Yogyakarta dulu, sambil nunggu keratonnya buka," rayu si tukang becak paruh baya.

Daripada bengong menunggu keraton buka, kami pun mengiyakan saja. Setelah tawar-menawar ongkos, akhirnya kami sepakat membayar Rp 30 ribu. Si tukang becak pun memanggil satu temannya lagi. Jadilah kami berempat menaiki dua becak setelah membayar Rp 60 ribu untuk dua becak.

Awalnya, kami membayangkan akan menyenangkan keliling Yogyakarta naik becak. Menikmati semilir angin di pagi hari. Namun kenyataannnya, kami harus sedikit menelan kekecewaan.

Di beberapa titik tukang becak menghentikan kayuhannya dan 'memaksa' kami mengunjungi toko-toko tertentu, seperti toko suvenir, bakpia, kaos, dan lukisan. Mungkin tukang becak itu mendapat bonus di toko-toko ini. Okelah bakpia yang terkenal lezat itu kami terima sekalian buat oleh-oleh.



Nah pas di galeri lukisan--yang konon pelukis dari keraton--kami merasa dijebak. Kami nggak berniat beli satu pun lukisan yang minimal harganya Rp 150 ribu. Ketika kami menolak Si Mas penjaga galeri malah malak minta uang berapa pun. Jadilah terpaksa kami kasih Rp 50 ribu karena nggak enak hati sudah telanjur keliling galerinya.

Setelah diputar-putar sama tukang becak, yang kami pikir jaraknya nggak jauh-jauh amat hanya memutari kompleks keraton, kami pun kembali ke gerbang keraton. Usai membayar Rp 60 ribu dengan perasaan sedikit dongkol, kami pun siap masuk halaman keraton. Tak apalah buang waktu dan uang pada si tukang becak sembari menunggu keraton buka. Kami akhirnya mencoba memaklumi, mungkin begitulah cara mendapat uang yang mereka tahu.




Wilayah Kompleks Keraton Yogyakarta ini terdapat dua loket pintu masuk, yaitu Museum Siti Hinggil Keraton Yogyakarta dan Tepas Pariwisata Keraton Yogyakarta. Jarak antara pintu pertama dengan pintu kedua bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki sekitar 10 menit. Tiket masuk ke Museum Siti Hinggil Keraton Yogyakarta dikenakan biaya Rp 5.000 dan tambahan Rp 2.000 untuk biaya izin foto. Biaya masuk ke Tepas Pariwisata Keraton Yogyakarta adalah Rp 7.500 dan tambahan Rp 1.000 untuk biaya izin foto atau video.

Suara daun sawo kecik yang menari tertiup angin menyambut kedatangan kami di Keraton Yogyakarta. Lamat-lamat terdengar suara gamelan yang mengalun pelan. Di sisi lain para abdi dalem terlihat bercengkerama bersama rekannya dan beberapa di antaranya lalu lalang di halaman tanpa alas kaki. Beberapa guide menawarkan jasa tapi kami menolaknya secara halus. Khawatir kejadian 'kejebak' sama tukang becak berulang lagi.

Keraton ini terletak tepat di jantung kota, melintang di antara dua aliran sungai, Code dan Winongo. Dipilihnya lokasi ini sebagai tempat berdirinya istana karena keberadaan dua sungai tersebut bisa menjadi benteng pertahanan alami. Selain itu bisa terlindung dari kemungkinan banjir. Keraton Yogyakarta ini dirancang oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1775 silam, tak lama sesudah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Begitulah informasi yang kami dengarkan sekilas dari guide yang melintas membawa sejumlah pengunjung.


Menyusuri istana yang hingga kini masih difungsikan sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya  menjadi perjalanan yang menyenangkan dan sarat pengetahuan. Kompleks Keraton Yogyakarta terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian yang boleh dikunjungi wisatawan serta bagian yang tertutup karena menjadi pusat kegiatan keluarga kerajaan.

Selain bangunan-bangunan megah berupa pendopo atau yang juga disebut dengan bangsal, kami pun mengunjungi museum benda bersejarah di Keraton Yogyakarta. Ada koleksi mobil kuno Sri Sultan dan Presiden RI pertama. Ada koleksi peralatan makan hadiah dari negara kerabat, aneka kain batik beserta sejarah pembuatannya, koleksi kursi Sri Sultan Hamengkubowono (HB) VIII dan permaisuri, serta koleksi lukisan. Salah satu yang jangan sampai dilewatkan adalah lukisan potret diri Sri Sultan HB VI karya maestro Raden Saleh.

Melangkah ke bagian ujung, kami menjumpai sebuah bangunan yang memaparkan secara lengkap informasi, dokumentasi, serta memorabilia Sri Sultan HB IX. Di bangunan ini terdapat beragam pakaian, seperti pakaian resmi kerajaan, pakaian yang dikenakan saat supitan. Pakaian berkuda dan sepak bola, seragam Pandu, meja kerja, lencana tanda jasa, ijazah, hingga koleksi kamera lawas milik Sri Sultan.

Tak sampai satu jam, kami sudah bisa keliling di Keraton Yogyakarta. Atau, sekitar satu setengah jam jika dihitung dengan keliling-keliling sama tukang becak.

Sebenarnya, ini jalan-jalan yang menyenangkan dan sarat pembelajaran sejarah dan budaya Jawa. Karena Keraton Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat tinggal raja, namun juga denyut nadi kebudayaan Jawa. Keraton Yogyakarta konon juga menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi. Di keraton ini pun ada banyak spot bagus yang bisa digunakan untuk berpose.

(Yuwanto)



Info Seputar Harga Tiket dan Jam Buka Keraton Yogyakarta
(Kami berkunjung pada Agustus 2018)

- Wisatawan lokal: Rp 5.000
- Wisatawan asing: Rp 15.000
- Biaya tambahan izin foto: Rp 2.000
- Parkir mobil: Rp 5.000
- Jam buka: Senin–Minggu pukul 09.00–14.00 WIB

Info Seputar Jasa Pakai Becak di Yogyakarta

- Wajib tahu rute biar tak dipermainkan
- Tentukan harga di awal, jangan asal naik becak tanpa bernegosiasi harga
- Lafal bahasa Jawa, kalau bisa, biar gampang negosiasinya
- Cari becak yang tak mangkal, tarifnya biasanya jauh lebih miring ketimbang naik becak pangkalan.




This post first appeared on Jedadulu, please read the originial post: here

Share the post

Satu Setengah Jam Berkunjung ke Keraton Yogyakarta

×

Subscribe to Jedadulu

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×