Get Even More Visitors To Your Blog, Upgrade To A Business Listing >>

Howard Schultz, Kisah Sukses Starbucks

Howard Schultz, CEO Starbucks, lahir di Brooklyn, New York pada tahun 1953 dan dibesarkan di proyek perumahan Bay View. Orangtua Schultz bekerja sebagai pekerja kerah biru yang tidak memiliki penghasilan besar yang tidak memberikan keuntungan sama sekali untuknya atau keluarganya. Ketika ayah Schultz mengalami patah pergelangan tangan pada suatu kecelakaan hingga akhirnya tidak dapat bekerja sebagai kurir, keluarga Schultz mengalami kesulitan keuangan hingga kesulitan dana untuk makan sehari-hari.

Shultz berprestasi di bidang olahraga saat sekolah dan mendapatkan beasiswa atletik di Northern Michigan University pada tahun 1971. Ia mendapatkan gelar sarjana di bidang komunikasi. Setelah lulus Ia bekerja sebagai sales di Xerox dan pada tahun 1979 Ia menjadi manager di Hammarplast, sebuah perusahaan penghasil Kopi asal swedia.

Pada saat bekerja di Hammarplast sebagai seorang general manager, Schultz memperhatikan Starbucks, sebuah toko kopi kecil di Seattle yang berulang kali membeli mesin espresso. Besarnya rasa penasaran membuatnya terbang ke Seattle untuk melihat toko itu sendiri. Starbucks pertama kali berdiri pada tahun 1971, menjual biji kopi, the, rempahm dan aksesori pembuat kopi. Ketika Schultz bertemu dengan pendiri Starbucks, Jerry Baldwin, Gordon Baker, dan Zev Siegl, Ia merasa terkesima dengan hasrat yang dimiliki ketiga orang tersebut tentang kopi. Schultz ingat saat pertama kali datang ke Starbucks Ia berkata “Ketika Saya masuk ke toko tersebut pertama kali, saya merasa seperti di rumah. Saya tidak dapat menjelaskannya tetapi saya tahu bahwa saya berada di suatu tempat yang special, dan produk yang dijual seperti berbicara dengan saya.”

Setahun kemudian, Schultz bekerja di Starbucks sebagai direktur operasional retail dan marketing. Pada tahun 1983, pada perjalanan dinas ke Milan, Italia, Schultz melihat banyak sekali coffee bar dan merasa kagum dengan keterikatan masyarakat dengan kopi, terutama terhadap coffee bar yang dijadikan banyak orang sebagai tempat pertemuan. Suatu ketika, Howard Schultz da­tang dengan ide cemerlang. Ia men­de­sak Jerry untuk mengubah Starbucks menjadi bar espresso dengan gaya Italia. Akan tetapi sang pemilik tidak menunjukkan ketertarikan terhadap hal tersebut. Setelah perdebatan dan pertengkaran yang panjang, keduanya menemui jalan buntu. Jerry menolak karena meskipun idenya bagus, Starbucks sedang ter­je­rumus dalam utang sehingga tidak akan mampu membiayai perubahan.  Setelah berulang kali mengajukan akhirnya sang pemilik mengijinkan Schultz untuk membuka sebuah coffee bar di salah satu toko baru yang dibuka di Seattle. Walaupun coffee bar tersebut berhasil, sang pendiri masih belum yakin bahwa hal tersebut adalah arah tujuan didirikannya Starbucks.

Schults akhirnya meninggalkan Starbucks pada tahun 1985 untuk mengejar mimpinya dengan membuka sebuah coffee ber bernama Il Giornale, toko yang dibukanya sangat laku akan tetapi Ia memiliki kekurangan dana untuk memperluas usahanya. Dua tahun kemudian, Baldwin dan Bowker menjual Starbucks karena lebih fokus kepada unit usaha lain, dengan bantuan beberapa investor di Seattle Schultz membeli Starbucks seharga US$3,8 Juta dan Ia menyatukan Starbucks dengan usaha miliknya dan mengganti namanya menjadi Starbucks Coffe Company.

Pada saat itu kopi belum menjadi hal yang popular dikarenakan harga biji kopi yang cukup mahal, akan tetapi Schultz tetap melanjutkan usahanya. Ia memperbanyak menu minumannya, menawarkan berbagai jenis minuman kopi seperti espresso, cappuccino, café latte, ice coffe dan juga café mocha. Ia berusaha untuk membuat atmosfir menyenangkan agar pelanggannya dapat merasa nyaman, bertemu dengan teman-teman dan menikmati kopi sesuai dengan selera masing-masing.

Seiring berkembangnya Starbucks, Schultz menerapkan satu hal, karyawan yang bekerja dengannya harus diperlakukan dengan rasa hormat dan berhak utnuk mendapatkan berbagai keuntungan. Hal ini dilakukannya mengingat masa kecilnya ketika ayahnya yang sakit tidak memilkik asuransi kesehatan atau keuntungan lain. Ia pun bersikeras tidak ingin melihat orang lain merasakan hal yang sama. Ia memberikan asuransi kesehatan untuk setiap karyawannya dan menawarkan paket pembelian saham Starbucks untuk membuat tenaga kerja lebih berdedikasi dan dapat melayani konsumen dengan standar yang sangat tinggi. Starbucks memiliki tingkat turn over lebih rendah 50% dibandingkan dengan kebanyakan perusahaan makanan cepat saji sebagai bagian dari pertumbuhan luar biasa perusahaan yang juga menguntungkan karyawan.

Seiring perkembangannya di tahun 1990, Schultz tetap mempertahankan tujuan utamanya “Menghidangkan kopi yang luar biasa, dan membangun sebuah perusahaan dengan jiwa.” Kini Starbucks adalah coffee house terbesar di dunia, dengan 20.981 toko di 62 negara. Rahasia kesuksesannya adalah selalu rendah hati dengan nilai-nilai yang dimilikinya, perlakukan karyawan dan masyarakat dengan rasa hormat dan selalu menjaga keistimewaan budaya perusahaan Starbucks.

Karena pernah merasakan hidup serbakekurangan, Howard menjadi seorang CEO yang memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil. Starbucks memberikan jaminan kesehatan yang sangat besar kepada para karyawannya, dan bahkan pada karyawan paruh waktunya. Malah, perusahaan itu mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk asuransi kesehatan dibanding untuk bahan material penjualan mereka, yaitu kopi.




This post first appeared on Hardyminhard's Blog | We Make A Living By What We, please read the originial post: here

Share the post

Howard Schultz, Kisah Sukses Starbucks

×

Subscribe to Hardyminhard's Blog | We Make A Living By What We

Get updates delivered right to your inbox!

Thank you for your subscription

×